;

Rabu, 11 April 2012

latar Belakang Munculnya Pendidikan Multikultural

Rabu, 11 April 2012



Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Hefner mengilustrasikan Indonesia sebagaimana juga Malaysia dan Singapura memiliki warisan dan tantangan multikulturalisme budaya (cultural multiculturalism) secara lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi bentukan baru “masyarakat multikultur” (cultural society). Kemultikulturan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, yaitu secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Kondisi tersebut tergambar dalam prinsip bhinneka tunggal ika, yang berarti meskipun Indonesia adalah berbeda-beda, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Namun demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme. Azra mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan, atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman (monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan. Berakhirnya sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya telah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia. Di samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang semakin mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondisi, yang Pertama, desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas kebudayaan di Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun golongan. Integrasi sosial dan nasional mendapat tantangan besar dari perubahan yang terjadi. Kedua, desentralisasi politik masa kini sangat kurang memperhatikan dimensi kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputusan politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi kebudayaan yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-batas kebudayaan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai memicu konflik yang tajam antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikuatirkan mengancam integrasi bangsa, para elit politik tergesa-gesa mencari obat penawarnya, mencari strategi untuk membangun kembali integrasi bangsa dan kebudayaan mulai diperhatikan. Berkaitan dengan beberapa kondisi di atas, bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”. Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia


TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Ninik - 06.59

0 komentar:

Posting Komentar

ninik9001.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.