Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelompok
etnis, budaya, agama dan lain-lain. Hefner mengilustrasikan Indonesia
sebagaimana juga Malaysia dan Singapura memiliki warisan dan tantangan
multikulturalisme budaya (cultural multiculturalism) secara lebih mencolok,
sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi bentukan baru “masyarakat
multikultur” (cultural society). Kemultikulturan masyarakat Indonesia paling
tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, yaitu secara horizontal, ia
ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan
suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan secara vertikal
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam. Kondisi tersebut tergambar dalam prinsip
bhinneka tunggal ika, yang berarti meskipun Indonesia adalah berbeda-beda,
tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Namun demikian, pengalaman Indonesia sejak
masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden
Soekarno dan masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat
pada politik monokulturalisme. Azra mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang
diberlakukan bukannya penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan, atau
multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman (monokulturalisme)
atas nama stabilitas untuk pembangunan. Berakhirnya sentralisasi Orde Baru yang
memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya telah memunculkan kesadaran akan
pentingnya memahami kembali kebhinnekaan, multikulturalisme Indonesia. Di
samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang semakin mendapat tempat
dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondisi, yang Pertama,
desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas kebudayaan di
Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun golongan. Integrasi sosial dan nasional
mendapat tantangan besar dari perubahan yang terjadi. Kedua, desentralisasi
politik masa kini sangat kurang memperhatikan dimensi kebudayaan. Keputusan
untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputusan politik oleh para elit
politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi kebudayaan yang sesungguhnya
sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-batas kebudayaan itu semakin
nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai memicu konflik yang tajam
antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikuatirkan mengancam
integrasi bangsa, para elit politik tergesa-gesa mencari obat penawarnya,
mencari strategi untuk membangun kembali integrasi bangsa dan kebudayaan mulai
diperhatikan. Berkaitan dengan beberapa kondisi di atas, bangunan Indonesia
Baru dari hasil reformasi adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia”.
Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa
dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep
pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada
dalam sebuah masyarakat. Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup
berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan kultur yang
ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu
dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana
mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang
bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya
tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar